Selama pasca orde baru, kehidupan politik di tandai dengan
ketidakpastian di tingkat massa, dan konflik politik yang tinggi di tingkat
elit. Oleh karena itu, proses sosialisasi politik merupakan sesuatu yang
tegarap secara baik dan teroganisir. Hal ini di sebabkan karena elit-elit
politik dan elit-elit strategis terjebak dalam proses “adu kekuatan” yang
melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa merupakan contoh bagaimana proses
sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya, masa yang sebelumnya mengalami
pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 akhir, terlibat dalam
blok-blok konflik yang diciptakan para elit, tanpa mereka mengetahui secara
nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada di dalamnya. Kasus terpenting
dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan Mahasiswa dengan massa dan
aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya dapat dianggap sebagai
refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde baru.
Meskipun tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian
terhadap apakah suatu perubahan yang terjadi merupakan suatu silent
revolution ataukah suatu reformasi, tetapi mungki saja penilaian
Nordholt diatas benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti
kemukakan oleh Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktur sosial,
lembaga-lebaga politik, kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan sosial
politik dalam tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin
uth semua perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang
mengikutinya. Sementara itu, Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang
terbatas dalam hal cakupan dan dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan
pranata-pranata politik. Ia mengadung perubahan perubahan yang mengarah pada
persamaan politik, social dan ekonomi yang lebi merata, termasu perluasan peran
serta politik dalam masyrakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang
bertentangan lebih tepat disebut sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan
sebagai suatu reformasi.
Dengan pemahaman seperti ini, perubahan-perubahan di Indonesia
numgkin dapat di katakanan sebagi suatu silent revolution sebagaimana
pendapat Nordholt di atas mengingat telah terjadi perubahan-perubahan yang
cukup mendasar terhadap struktur politik dan pemerintahan. Presiden dan wkil
presiden telah terpilih secara lansung oleh rakyat indonseia. UUD 1945 yang sebelumnya
dianggap sacral oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan despotis telah di
amandemenkan beberapa kali, dan lembaga legislatif telah diberdayakan
sedemikian rupa, sehingga lembaga ini menjadi sangat kuat di bandingkan dengan
masa sebelumnya. Selain itu, media massa telah di jamin kebebasannya
berdasarkan undang-undang kebebasan pers. Sementara itu, penyelenggaraan
pemerintah daerah telah di dasarkan pada asas desentrlisasi dengan lebih
memperhatikan potensi di daerah masing-masing, dan MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi yang memiilih presiden dan wakil presiden. Keseluruhan ini
merupakan perubahan-perubahan yang cukup mendasar.
Meskipun proses bekerjanya sistem politik bisa dimulai dengan
melihat proses sosialisasi politik. Dalam pengertian sosiologi, sosialisasi
merupakan proses bagaimana anak-anak berkenalan dengan nilai yang dianut
masyarakat serta bagaimana mereka peranan-peranan yang akan mereka lakukan bila
mereka telah dewasa. Materi yang di tananmkan dengan sendirinya nilia-nilai
actual, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai yang ideal.
Dengan kata lain, sosialisasi menunjukan pada proses dimana sikap-sokap politik
dengan pola-pola tingkah laku poltik di peroleh atau dibentuk, dan juga
merupakn sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik
dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi muda berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar