CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 16 Desember 2012

SISTEM POLITIK ERA REFORMASI


Selama pasca orde baru, kehidupan politik di tandai dengan ketidakpastian di tingkat massa, dan konflik politik yang tinggi di tingkat elit. Oleh karena itu, proses sosialisasi politik merupakan sesuatu yang tegarap secara baik dan teroganisir. Hal ini di sebabkan karena elit-elit politik dan elit-elit strategis terjebak dalam proses “adu kekuatan” yang melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa merupakan contoh bagaimana proses sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya, masa yang sebelumnya mengalami pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 akhir, terlibat dalam blok-blok konflik yang diciptakan para elit, tanpa mereka mengetahui secara nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada di dalamnya. Kasus terpenting dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan Mahasiswa dengan massa dan aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya dapat dianggap sebagai refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde baru.

Meskipun tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian terhadap apakah suatu perubahan yang terjadi merupakan suatu silent revolution ataukah suatu reformasi, tetapi mungki saja penilaian Nordholt diatas benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti kemukakan oleh Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktur sosial, lembaga-lebaga politik, kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan sosial politik dalam tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin uth semua perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang mengikutinya. Sementara itu, Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang terbatas dalam hal cakupan dan dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata politik. Ia mengadung perubahan perubahan yang mengarah pada persamaan politik, social dan ekonomi yang lebi merata, termasu perluasan peran serta politik dalam masyrakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang bertentangan lebih tepat disebut sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan sebagai suatu reformasi.

Dengan pemahaman seperti ini, perubahan-perubahan di Indonesia numgkin dapat di katakanan sebagi suatu silent revolution sebagaimana pendapat Nordholt di atas mengingat telah terjadi perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap struktur politik dan pemerintahan. Presiden dan wkil presiden telah terpilih secara lansung oleh rakyat indonseia. UUD 1945 yang sebelumnya dianggap sacral oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan despotis telah di amandemenkan beberapa kali, dan lembaga legislatif telah diberdayakan sedemikian rupa, sehingga lembaga ini menjadi sangat kuat di bandingkan dengan masa sebelumnya. Selain itu, media massa telah di jamin kebebasannya berdasarkan undang-undang kebebasan pers. Sementara itu, penyelenggaraan pemerintah daerah telah di dasarkan pada asas desentrlisasi dengan lebih memperhatikan potensi di daerah masing-masing, dan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang memiilih presiden dan wakil presiden. Keseluruhan ini merupakan perubahan-perubahan yang cukup mendasar.



Meskipun proses bekerjanya sistem politik bisa dimulai dengan melihat proses sosialisasi politik. Dalam pengertian sosiologi, sosialisasi merupakan proses bagaimana anak-anak berkenalan dengan nilai yang dianut masyarakat serta bagaimana mereka peranan-peranan yang akan mereka lakukan bila mereka telah dewasa. Materi yang di tananmkan dengan sendirinya nilia-nilai actual, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai yang ideal. Dengan kata lain, sosialisasi menunjukan pada proses dimana sikap-sokap politik dengan pola-pola tingkah laku poltik di peroleh atau dibentuk, dan juga merupakn sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi muda berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar